Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari diperbolehkan
dalam syari'at Islam. Keterangan diambil dari kitab "Al-Hawi lil
Fatawi" karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178
sebagai berikut:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
Artinya:
"Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja'i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi'in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu'aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja'i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut."
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول
ِArtinya:
"Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat."
Tambahan:
=======
Anjuran Selamatan Kematian:
http://www.sarkub.com/2011/anjuran-untuk-tahlilan-7-hari-berturut-turut/
Mengapa para ulama mengajarkan kepada umat Islam agar selalu mendoakan keluarganya yang telah meninggal dunia selama 7 hari berturut-turut ?
Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.
Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadits kenamaan mengatakan bahwa beliau mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan dari Al-Asyja’i, yang beliau sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu ‘anhu pernah berkata :
إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.
Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) juga menyebutkannya didalam Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyah.[2] Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah seorang tabi’in (w. 106 H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas keilmuannya. [3] Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian bahwa kaum Muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah, sedangkan Rasulullah mengetahui dan taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil) juga bahwa para sahabat melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa khabar ini berasal dari seluruh sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’, dikatakan (qil) hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa mereka tanpa ada yang mengingkarinya. [4]
Ini merupakan anjuran (kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru meninggal selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat bagi mayyit.[5] Kegiatan semacam ini juga berlangsung pada masa berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy ;
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]
Shadaqah seperti yang dilakukan diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari Sayyidina Umar bin Khaththab, disebutkan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (5/328) lil-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852) sebagai berikut :
قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه
“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.
Hikmah dari hadits ini adalah bahwa adat-istiadat amalan seperti Tahlilan bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak masa sahabat, serta para masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini.
Riwayat diatas juga disebutkan dengan lengkap dalam beberapa kitab antara lain Ithaful Khiyarah (2/509) lil-Imam Syihabuddin Ahmad bin Abi Bakar al-Bushiriy al-Kinani (w. 840).
وعن الأحنف بن قيس قال: “كنت أسمع عمر بن الحنطاب- رضي الله عنه- يقول: لا يدخل رجل من قريش في باب إلا دخل معه ناس. فلا أدري ما تأويل قوله، حتى طعن عمر فأمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثا، وأمر بأن يجعل للناس طعاما، فلما رجعوا من الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه، فجاء العباس بن عبد المطلب قال: يا أيها الناس، قد مات رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فأكلنا بعده وشربنا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا، فعرفت تأويل قوله “.رواه أحمد بن منيع بسند فيه علي بن زيد بن جدعان
“Dan dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai ‘Umar di tikam kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama manusia dan membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka telah kembali dari mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah dihidangkan namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka. Maka datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai manusia, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah wafat, dan kita semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat dan kita makan serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh kalian dari makanan ini, maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil makanan), diikuti oleh yang lainnya kemudian mereka semua makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud dari perkataannya. Ahmad bin Mani telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.
Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani telah meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra (4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam Abu Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).
Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :
قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
“ Thowus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.
Sementara dalam riwayat lain :
عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا
“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.
Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.
Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.
Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).
Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.
(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Saw, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.
Wallahu A’lam.
[1] Lihat : Syarah ash-Shudur bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah a-Suyuthi ‘alaa Shahih Muslim, Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan an-Nasaa’i dan al-Hafi lil-Fatawi lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah (2/9) lil-Imam Syamsuddin Muhammad as-Safarainy al-Hanbali (w. 1188 H) ; Sairus Salafush Shalihin (1/827) lil-Imam Isma’il bin Muhammad al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam al-Hafidz Hajar al-Asqalani (w. 852 H) didalam al-Mathalibul ‘Aliyah (834).
[2] Lihat : Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ lil-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahaniy : “menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, menceritakan kepada kami ayahku (Ahmad bin Hanbal), menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy, dari Sufyan, ia berkata : Thawus telah berkata : “sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji oleh malaikat) didalam kuburnya selama 7 hari, maka ‘mereka’ menganjurkan untuk melakukan kenduri shadaqah makan yang pahalanya untuk mayyit selama 7 hari tersebut”.
[3] Lihat : al-Wafi bil Wafiyaat (16/236) lil-Imam ash-Shafadi (w. 764 H), disebutkan bahwa ‘Amru bin Dinar berkata : “aku tidak pernah melihat yang seperti Thawus”. Dalam at-Thabaqat al-Kubra li-Ibni Sa’ad (w. 230 H), Qays bin Sa’ad berkata ; “Thawus bagi kami seperti Ibnu Siirin (sahabat) bagi kalian”.
[4] Lihat ; al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (2/30-31) lil-Imam Syihabuddin Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami ; al-Hawi al-Fatawi (2/169) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthiy.
[5] Lihat : Syarah Shahih Muslim (3/444) li-Syaikhil Islam Muhyiddin an-Nawawi asy-Syafi’i.
[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.
(Dikutip dan di tata ulang seperlunya dari Abi Firas dan Ibn Abdillah Al-Katiby)
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
Artinya:
"Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja'i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi'in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu'aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja'i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut."
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول
ِArtinya:
"Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat."
Tambahan:
=======
Anjuran Selamatan Kematian:
http://www.sarkub.com/2011/anjuran-untuk-tahlilan-7-hari-berturut-turut/
Mengapa para ulama mengajarkan kepada umat Islam agar selalu mendoakan keluarganya yang telah meninggal dunia selama 7 hari berturut-turut ?
Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.
Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadits kenamaan mengatakan bahwa beliau mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan dari Al-Asyja’i, yang beliau sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu ‘anhu pernah berkata :
إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.
Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) juga menyebutkannya didalam Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyah.[2] Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah seorang tabi’in (w. 106 H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas keilmuannya. [3] Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian bahwa kaum Muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah, sedangkan Rasulullah mengetahui dan taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil) juga bahwa para sahabat melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa khabar ini berasal dari seluruh sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’, dikatakan (qil) hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa mereka tanpa ada yang mengingkarinya. [4]
Ini merupakan anjuran (kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru meninggal selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat bagi mayyit.[5] Kegiatan semacam ini juga berlangsung pada masa berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy ;
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]
Shadaqah seperti yang dilakukan diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari Sayyidina Umar bin Khaththab, disebutkan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (5/328) lil-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852) sebagai berikut :
قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه
“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.
Hikmah dari hadits ini adalah bahwa adat-istiadat amalan seperti Tahlilan bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak masa sahabat, serta para masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini.
Riwayat diatas juga disebutkan dengan lengkap dalam beberapa kitab antara lain Ithaful Khiyarah (2/509) lil-Imam Syihabuddin Ahmad bin Abi Bakar al-Bushiriy al-Kinani (w. 840).
وعن الأحنف بن قيس قال: “كنت أسمع عمر بن الحنطاب- رضي الله عنه- يقول: لا يدخل رجل من قريش في باب إلا دخل معه ناس. فلا أدري ما تأويل قوله، حتى طعن عمر فأمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثا، وأمر بأن يجعل للناس طعاما، فلما رجعوا من الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه، فجاء العباس بن عبد المطلب قال: يا أيها الناس، قد مات رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فأكلنا بعده وشربنا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا، فعرفت تأويل قوله “.رواه أحمد بن منيع بسند فيه علي بن زيد بن جدعان
“Dan dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai ‘Umar di tikam kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama manusia dan membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka telah kembali dari mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah dihidangkan namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka. Maka datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai manusia, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah wafat, dan kita semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat dan kita makan serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh kalian dari makanan ini, maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil makanan), diikuti oleh yang lainnya kemudian mereka semua makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud dari perkataannya. Ahmad bin Mani telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.
Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani telah meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra (4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam Abu Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).
Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :
قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
“ Thowus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.
Sementara dalam riwayat lain :
عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا
“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.
Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.
Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.
Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).
Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.
(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Saw, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.
Wallahu A’lam.
[1] Lihat : Syarah ash-Shudur bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah a-Suyuthi ‘alaa Shahih Muslim, Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan an-Nasaa’i dan al-Hafi lil-Fatawi lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah (2/9) lil-Imam Syamsuddin Muhammad as-Safarainy al-Hanbali (w. 1188 H) ; Sairus Salafush Shalihin (1/827) lil-Imam Isma’il bin Muhammad al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam al-Hafidz Hajar al-Asqalani (w. 852 H) didalam al-Mathalibul ‘Aliyah (834).
[2] Lihat : Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ lil-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahaniy : “menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, menceritakan kepada kami ayahku (Ahmad bin Hanbal), menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy, dari Sufyan, ia berkata : Thawus telah berkata : “sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji oleh malaikat) didalam kuburnya selama 7 hari, maka ‘mereka’ menganjurkan untuk melakukan kenduri shadaqah makan yang pahalanya untuk mayyit selama 7 hari tersebut”.
[3] Lihat : al-Wafi bil Wafiyaat (16/236) lil-Imam ash-Shafadi (w. 764 H), disebutkan bahwa ‘Amru bin Dinar berkata : “aku tidak pernah melihat yang seperti Thawus”. Dalam at-Thabaqat al-Kubra li-Ibni Sa’ad (w. 230 H), Qays bin Sa’ad berkata ; “Thawus bagi kami seperti Ibnu Siirin (sahabat) bagi kalian”.
[4] Lihat ; al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (2/30-31) lil-Imam Syihabuddin Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami ; al-Hawi al-Fatawi (2/169) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthiy.
[5] Lihat : Syarah Shahih Muslim (3/444) li-Syaikhil Islam Muhyiddin an-Nawawi asy-Syafi’i.
[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.
(Dikutip dan di tata ulang seperlunya dari Abi Firas dan Ibn Abdillah Al-Katiby)
0 komentar:
Posting Komentar