KH
Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871 adalah
anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari,
pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya
bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan
Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka
Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka
Tingkir).
Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang. Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang. Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
Tak
puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana
dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di
Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren
Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di
pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya
sebagai menantu. Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah
haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad
Khatib Al-Minangkabauwi dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang
hadis.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Proses Pembentukan Nahdlatul Ulama
Bermula
dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul
setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide
untuk mendirikan jamiyyah bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah.
Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih
perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.
Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik.
Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yang sangat berpengaruh di Jawa Timur. Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah).
Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.
Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik.
Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yang sangat berpengaruh di Jawa Timur. Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah).
Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.
Sesampainya
di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad
disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus
gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera
menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil
untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya
menyerahkan tongkat. Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh
perasaan.
Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23 . Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya.
Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23 . Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya.
Proses
dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan
terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa
sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada
Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir
juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang
erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya
sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat
Islam. Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim
dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya
diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil
menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya
Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya. Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun).
Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya. Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun).
Pada
tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, hari Kamis, di lawang
Agung Ampel Surabaya, pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang
diberi nama "Jam’iyyah Nahdlatul Ulama". Kehadiran Jam'iyyah Nahdlatul
Ulama' dimaksudkan sebagai suatu organisasi yang dapat mempertahankan
ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari segala macam intervensi (serangan)
golongan-golongan Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di Indonesia
pada khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya, disamping itu juga
dimaksudkan sebaga organisasi yang mampu memberikan reaksi terhadap
tekanan-tekanan yang diberikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada
ummat Islam di Indonesia.
Setelah
para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama Nahdlatul Ulama
(NU), Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya.
Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi
dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap
Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar
ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri
untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim.
Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya. Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie .
Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya. Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie .
Pengaruh Nahdlatul Ulama Terhadap Perjuangan Kemerdekaan
Setelah
Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' lahir pada tanggal 31 Januari 1926 M,
Alhamdulillah, meskipun Jam'iyyah NU baru saja lahir, ternyata telah
mampu melaksanakan tugas-tugas yang berat, maupun tugas yang diharapkan
oleh ummat Islam kepadanya. Tugas-tugas tersebut antara lain:
Pertama,
Pada bulan Februari 1926 M. setelah berhasil menyelenggarakan kongres
Al Islam di Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh organisasi Islam
selain NU, seperti: PSII, Muhammadiyah dan lain-lainnya. Diantara
keputusan kongres tersebut adalah mengirimkan dua orang utusan, yaitu:
H.Umar Said Tjokroaminoto dari PSII dan KH. Mas Mansur dari
Muhammadiyah, ke Muktamar Alam Islam yang diselenggarakan oleh raja Ibnu
Saud (raja Saudi Arabia) di Makkah. Disamping itu, Jam'iyyah NU juga
mengirimkan utusan yang khusus membawa amanat NU, yaitu: KH. Abdul Wahab
Hasbullah dan KH. Ahmad Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah kedua utusan
ini berhasil dengan baik.
Kedua
beliau ini pulang dengan membawa surat dari raja Sa'ud ke Indonesia
tertanggal 28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928 M. nomor: 2082, yang
isinya antara lain menyatakan bahwa raja Ibnu Sa'ud menjanjikan akan
membuat satu ketetapan yang menjamin setiap ummat Islam untuk
menjalankan Agama Islam menurut paham yang dianutnya.
Kedua, Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka sejak lahir, Jam'iyyah NU telah berani memberikan reaksi secara aktif terhadap rencana pemerintah Penjajah Belanda mengenai:
1. Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dibawa Belanda dari Eropa.
2. Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam.
3. Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.
Walhasil,
meskipun NU tidak pernah menyatakan sebagai Partai Politik, namun yang
ditangani adalah persoalan politik. Pada tanggal 5 September 1929
Jam'iyyah NU mengajukan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah
Tangga (Huishoudelijk Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah
Hindia Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari 1930 mendapat pengesahan
dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai organisasi resmi dengan nama: "
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama" untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak
berdiri, yaitu: 31 Januari 1926.
Setelah berdiri secara resmi, Nahdlatul Ulama mendapat sambutan dari seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar berhaluan salah satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain:
Setelah berdiri secara resmi, Nahdlatul Ulama mendapat sambutan dari seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar berhaluan salah satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain:
1. Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dipimpin oleh para ulama' yang menjadi guru dari para kyai yang tersebar di seluruh Nusantara, khususnya Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari.
2. Kesadaran ummat Islam Indonesia akan keperluan organisasi Islam sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai kekuatan sosial yang tangguh dalam menghadapi tantangan dari luar
Sebagai
organisasi sosial yang harus menangani semua kepentingan masyarakat,
Nahdlatul Ulama' memandang sangat perlu untuk membentuk kader-kader yang
terdiri dari generasi muda yang sanggup melaksanakan
keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU. Untuk itu, pada tanggal
12 Februari 1938, atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul
Jawa Timur, diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan
keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan
madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok pesantren.
Madrasah-madrasah yang didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu :
• Madrasah Umum, yang terdiri dari:
-Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun.
-Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
-Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
-Madrasah Mu'allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
-Madrasah Mu'allimin 'Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.
• Madrasah Kejuruan (Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari:
- Madrasah Qudlat (Hukum).
- Madrasah Tijarah (Dagang).
- Madrasah Nijarah (Pertukangan).
- Madrasah Zira'ah (Pertanian).
- Madrasah Fuqara' (untuk orang-orang fakir).
- Madrasah Khusus.
Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia, Nahdlatul Ulama' yang dibubarkan oleh
penjajah Jepang bangkit kembali dan mengajak kepada seluruh ummat Islam
Indonesia untuk membela dan mempertahankan tanah air yang baru saja
merdeka dari serangan kaum penjajah yang ingin merebut kembali dan
merampas kemerdekaan Indonesia. Rais Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama, KH. Hasyim Asy'ari, mengeluarkan fatwa bahwa mempertahankan dan
membela kemerdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya. Seruan dan ajakan
NU serta fatwa dari Rais Akbar ini mendapat tanggapan yang positif dari
ummat Islam; dan bahkan berhasil menyentuh hati nurani arek-arek
Surabaya, sehingga mereka tidak mau ketinggalan untuk memberikan andil
yang tidak kecil artinya dalam peristiwa 10 November '45.
Fatwa
Jihad tersebut antara lain berisi : 1) Kemerdekaan Indonesia yang
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan, 2) Republik
Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, harus dijaga dan
ditolong, 3) Musuh Republik Indonesia, yaitu Belanda yang kembali ke
Indonesia dengan bantuan Sekutu (Inggris) pasti akan menggunakan
cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia, 4) Umat
Islam, terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan Belanda dan
sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali, 5) Kewajiban ini
merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim
yang tinggal dalam radius 94 kilometer, sedangkan mereka yang tinggal
di luar radius tersebut harus membantu secara material terhadap mereka
yang berjuang.
Fatwa
jihad ini mendapatkan sambutan yang luar biasa dari segala lapisan
masyarakat, bakan Bung Tomo seorang tokoh utama dari Barisan Pemberontak
Republik Indonesia meminta dukungan dan menggunakan fatwa KH Hasyim
Asy’ari untuk melakukan perlawanan bersenjata melalui siaran radio.
Melalui radio pula Bung Tomo memompa semangat arek-arek Suroboyo yang
punya semboyan lebih baik berjuang dan mati daripada hidup kembali
dijajah. Pompaan semangat ini bagaikan api disiram dengan minyak ketika
KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihadnya. Yang kemudian kita
mengenal “Pertempuran 10 November” sebagai salah satu pertempuran rakyat
Indonesia yang paling heroik sepanjang masa sehingga diperingati
sebagai Hari Pahlawan setiap tahunnya.
Kontribusi
yang diberikan NU dalam menegakkan perjuangan kemerdekaan Indonesia
tidaklah kecil. KH Hasyim Asy’ari dapat membuktikan bahwa ulama tidak
berdiri saja di belakang hijab dan meninggalkan medah jihad. Keutuhan
sikap ini menjadikan inspirasi besar bagi kita bahwa dakwah Islam
tidaklah sekuler, menunjukkan bahwa dakwah Islam adalah syumul
(sempurna). Dimana terdapat dakwah dan jihad, adanya ekspresi nyata
dari dakwah Islam yang bisa diaplikasikan riil di masyarakat. Semoga
kisah perjuangan “Jamiyyah Nahdlatul Ulama” memberikan inspirasi besar
bagi aktivitas amal siyasi ikhwah sekalian.
sumber : http://thebrewokz.blogspot.com

0 komentar:
Posting Komentar