Empat Prinsip Membangun Keluarga Sakinah (Catatan Ceramah Gus Ali, Tulangan-Sidoarjo)
Dari Abu Hurairah RA., bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya dan yang paling terbaik dari kalian adalah yang terbaik dalam memperlakukan istri-istrinya.” (HR. Turmudzi).Marilah kita merenungkan hadits nabi di atas. Hadits ini cukup pendek tapi makna dan cakupannya begitu luas. Karena luasnya makna dan cakupannya itulah sehingga apabila kita berkumpul berkali-kali untuk menyibak hikmah dan pelajaran yang terkandung di dalamnya, kita masih membutuhkan waktu lebih banyak lagi untuk mengetahui kandungannya.
Untuk mengetahui sehat benarnya iman, untuk mengukur keimanan kita, tidak bisa menggunakan simbol-simbol lahiriah sebagai ukurannya. Kesempurnaan iman kita tidak dapat diukur dari ukuran sorban, peci, dan simbol-simbol lainnya. Nabi SAW mengajarkan kita untuk mengukur iman dengan ukuran lembut dan indah perilaku kita dari cara bergaul dengan orang-orang di sekeliling kita, khususnya sosok yang dekat seperti istri.
Mukmin yang paling sempurna imannya adalah mukmin yang paling baik akhlaknya. Dan yang paling baik akhlaknya adalah yang paling baik dalam memperlakukan istrinya. Rasulullah SAW memberikan standar, memberikan ukuran, untuk mengukur benar dan sehatnya iman seseorang, tidak dari materi yang dimiliki, gelar yang disandangnya. Tapi sejauh mana ia memperlakukan orang-orang di sekitarnya.
Apabila seseorang memperlakukan istrinya dengan kasar dan kaku, mabuk dalam teriakan dan caci maki, maka pengakuan imannya perlu ditinjau kembali. Orang bijak berkata, “Seandainya di dunia ini ada surga, surga itu adalah pernikahan yang sukses. Seandainya di dunia ini ada neraka, neraka itu adalah pernikahan yang gagal.” Para psikolog telah bersepakat, pernikahan yang gagal menempati rangking tertinggi sebagai pemicu stress, lebih-lebih di era global sekarang ini.
Ada empat prinsip yang harus dipedomani pasangan suami-istri dalam rangka me-sakinah-kan kehidupan rumah tangganya. Pertama, prinsip dalam kebebasan memilih jodoh. Prinsip pertama ini bisa kita temukan dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa beliau SAW apabila hendak menikahkan putri-putrinya, beliau berkata kepada putrinya, “Sesungguhnya si fulan telah beberapa kali menyebut-sebut namamu.” Rasul berkata demikian sembari melihat kondisi psikologis putrinya. Bebas di sini bukan bebas mutlak. Ada beberapa rambu yang tidak boleh dilanggar agar pernikahan tetap mampu mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar, pertama, jangan menikahi wanita-wanita musyrik. Nikah beda agama, nikah beda akidah, menurut pandangan Allah dan Rasul-Nya, hukumnya tidak boleh. Kedua, jangan menikahi wanita-wanita yang memliki hubungan nasab, yang masih mahram, dengan kalkulasi menyelamatkan warisan. Ini sama sekali tidak diizinkan Allah dan Rasul-Nya. Yang ketiga, jangan menikahi wanita-wanita pezina. Dan keempat jangan menikahi wanita yang jelas-jelas rusak akhlak atau agamanya. Bila prinsip kebebasan memilih jodoh ini kita jadikan pedoman, Insya Allah ada satu poin dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Prinsip kedua adalah saling memberi, melengkapi, menyempurnakan, bahasa lainnya adalah take and give. Hal ini bisa kita temukan dalam Al-Quran. Allah berfirman: “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka..” (Qs. Al-Baqarah : 187). Ayat ini memberi isyarat, tidak ada manusia yang sempurna. Tidak ada manusia hebat dalam segala bidang. Untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, kedua pasangan ini harus bisa saling melengkapi, saling menerima, saling memberi. Tidak sebaliknya, saling menjatuhkan. Kalau ada kekurangan di pihak suami, si istri harus menyempurnakan. Kalau ada kelemahan dari pihak istri, suami harus bisa menerimanya. Jika prinsip yang kedua ini kita jadikan sebagai panglima dalam rumah tangga, maka kita telah mempunyai dua point untuk bisa mengibarkan bendera kesuksesan rumah tangga.
Ketiga, prinsip mawaddah wa rahmah. Mawaddah adalah cinta kasih dan rahmah adalah kasih sayang. Prinsip ini diberikan Allah hanya kepada manusia, tidak kepada tumbuhan-tumbuhan, hewan, dan makhluk-makhluk lainnya.
Agar dapat terwujud, prinsip mawaddah wa rahmah harus melewati pernikahan yang sah. Bila rumah tangga dilatari prinsip ini akan menjadi rumah tangga yang tahan banting, akan menjadi rumah tangga yang langgeng, akan menjadi rumah tangga yang penuh cinta kasih, akan menjadi rumah tangga yang penuh kedamaian, dan mampu mewujudkan “baytiy jannatiy” rumahku adalah surgaku.
Mawaddah wa rahmah ini bisa hadir apabila pasangan suami-istri memiliki sikap yang sama, yaitu ikhlas. Kedua pasangan sama-sama punya keinginan dan kemauan untuk saling membahagiakan. Sebab, rasa cinta dan kasih sayang adalah sebuah sharing, sikap untuk saling mau berbagi. Mawaddah wa rahmah bisa hadir pada situasi saling memberi bukan saling mengambil, melihat sisi positif bukan sisi negatif.
Keempat, Mu`asyarah bil Ma`ruf, memperlakukan istri dengan baik dan sopan. Orang bijak punya semboyan, “Memimpin sebuah negara masih lebih mudah daripada memimpin sebuah rumah tangga.” Apabila seorang suami memperlakukan istrinya dengan keras dan kasar, maka ia akan putus. Apabila terlalu manja dalam memperlakukan istri, ia akan bengkok. Pandai-pandailah dalam membimbing istri. Banyak orang sukses dalam memimpin organisasi; banyak orang sukses dalam melakukan berbisnis, namun ia gagal dalam memimpin rumah tangga.
Hidup ini memang sulit. Hanya orang-orang bodohlah yang mengharapkan hidup ini mudah, tanpa kerja dan usaha. Dalam mewujudkan rumah tangga bahagia, sakinah, mawaddah wa rahmah, tentunya tidak cukup hanya mengedepankan argument dan kata-kata mutiara. Akan tetapi, butuh penerapan nyata dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Untuk itulah hal pertama dalam mewujudkan keempat prinsip di atas, yang pertama, usahakanlah seorang suami mampu tampil sebagai imam yang cerdas menyelaraskan antara ucapan dan perbuatan. Suami yang cerdas adalah suami yang mampu mendidik karena mendidik beda dengan mengajar. Orang yang kurang didik tentu beda dengan orang yang kurang ajar. Maka seorang suami tentunya harus punya nilai tambah karena sebagai presidennya rumah tangga. Ia harus punya kapasitas keilmuan, istiqamah dalam iman, istiqamah dalam tauhid, istiqamah dalam amaliyah, dan mampu menciptakan rumah tangga beriklim islami dan religi.
Cara kedua untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia, diperlukan kerja sama di dalam saling memberi, melengkapi, menyempurnakan, di dalam praktek kehidupan sehari-hari. Laksanakan perintah-perintah Allah, dahulukan panggilan-panggilan Allah, daripada panggilan-panggilan selain Allah, usahakan kedua suami-istri memakan rezeki yang halal, sehingga ketenangan dan kedamaian akan terwujud menjadi kenyataan.
Yang terakhir untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, seluruh anggota keluarga harus punya komitmen pendekatan imani dan pendekatan Ilahi, dan istiqamah berdoa kepada Allah. Apa artinya kehebatan, apa artinya segudang gelar, manakala jauh dari bimbingan dan pertolongan Allah. Kita tidak punya daya apapun tanpa bimbingan dan pertolongan Allah. Laa Hawala wa laa Quwwata Illaa Billaahil A`liyyil A`dziim .
Oleh karena itu, apabila dihadapkan pada sebuah persoalan pelik dalam urusan rumah tangga, maka solusinya adalah janganlah kita memaknai ujian, kesulitan, dan rintangan sebagai penderitaan. Banyak rumah tangga berujung pada perceraian dan kegagalan, kemudian memutuskan ikatan yang telah kokoh, memutuskan lembaga pernikahan yang suci nan sakral, karena tidak didasari iman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kunci menekan angka perceraian yang memang perbuatan halal tapi dibenci Allah ini adalah kita harus cerdas memaknai ujian, cerdas memaknai rintangan, cerdas memaknai kesulitan. Karena menurut sejarah sunnatullah (hukum alam), di mana ada kesulitan di sana ada kemudahan. Setiap rintangan di sana ada jalan keluar. Setiap kegagalan di sana ada kesuksesan. Tidak sedikit orang menjadi sukses usai belajar dari terseok-seok dari bawah dan tidak sedikit orang menjadi hancur karena mudah puas diri dan tidak cerdas membaca apa yang ada di sekelilingnya. Kita dituntut cerdas memaknai kesulitan, cobaan, ujian, dan kegagalan. Kesulitan, kegagalan, dan ujian, jangan dimaknai sebagai penderitaan.
Kesimpulannya, sosok kepala rumah tangga yang sukses adalah sosok yang mampu menjadi imam sebenar-benarnya, istiqamah memperjuangkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan kedamaian bagi seluruh anggota keluarganya, dan berkiblat kepada apa yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan pada kesempatan yang penuh berkah ini, dijadikan nilai tambah oleh Allah. Semoga kita menjadi orang-orang yang istiqamah dalam iman, istiqamah dalam tauhid, istiqamah dalam amaliyah. Semoga kita menjadi orang yang tambah umur, tambah sempurna iman dan agamanya; tambah umurnya, tambah kuat dzikirnya, tambah kuat istighfarnya, banyak membaca shalawatnya. Mudah-mudahan kita meninggalkan dunia ini, mampu membawa bendera husnul khatimah, kembali kepada Allah dengan membawa kebahagiaan dan keselamatan yang hakiki.
(Habib Ali Akbar Bin Agil)
0 komentar:
Posting Komentar