Beliau
adalah Syaikh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail
bin Yusuf An Nabhani. Nama An Nabhani dinisbahkan kepada kabilah Bani
Nabhan, satu kabilah Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka
bermukim di daerah Ijzim, wilayah Haifa, Palestina Utara. Syaikh
Taqiyuddin An Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909. Beliau
mendapat didikan ilmu dan agama di rumah dari ayah beliau sendiri,
seorang syaikh yang faqih fid din. Ayah beliau seorang pengajar
ilmu-ilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestina.1 Ibu beliau juga
menguasai beberapa cabang ilmu syariah, yang diperolehnya dari ayahnya,
Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Beliau ini adalah seorang
qadhi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka
dalam Daulah Utsmaniyah.
Syaikh
Taqiyuddin menerima pendidikan dasar-dasar ilmu syariah dari ayah dan
kakek beliau, yang telah mengajarkan hafalan Al Qur'an sehingga beliau
hafal Al Qur'an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga
mendapatkan pendidikannya di sekolah-sekolah negeri ketika beliau
bersekolah di sekolah dasar di daerah Ijzim. Kemudian beliau berpindah
ke sebuah sekolah di Akka untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah
menengah. Sebelum beliau menamatkan sekolahnya di Akka, beliau telah
bertolak ke Kairo untuk meneruskan pendidikannya di Al Azhar, guna
mewujudkan dorongan kakeknya, Syaikh Yusuf An Nabhani.
Syaikh
Taqiyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar
pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan
predikat sangat memuaskan. Lalu beliau melanjutkan studinya di Kulliyah
Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar. Di samping itu
beliau banyak menghadiri halaqah-halaqah ilmiah di Al Azhar yang diikuti
oleh syaikh-syaikh Al Azhar, semisal Syaikh Muhammad Al Hidhir Husain
rahimahullah seperti yang pernah disarankan oleh kakek beliau. Hal itu
dimungkinkan karena sistem pengajaran lama Al Azhar membolehkannya.
Syaikh
Taqiyuddin An Nabhani menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun
1932. Pada tahun yang sama beliau menamatkan pula kuliahnya di Al Azhar
Asy Syarif menurut sistem lama, di mana para mahasiswanya dapat memilih
beberapa syaikh Al Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai
bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariah seperti fiqih, ushul fiqih, hadits,
tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan yang sejenisnya.
Syaikh
Taqiyuddin bekerja dalam bidang pengajaran syariah di kementerian
pendidikan hingga tahun 1938. Pada tahun itu beliau beralih untuk
beraktivitas di bidang peradilan syariah. Secara gradual beliau meniti
karir di bidang peradilan syariah itu. Beliau memulainya dengan menjabat
kepala sekretaris Mahkamah Haifa Pusat. Kemudian beliau naik jabatan
menjabat asisten qadhi, kemudian menjabat qadhi Mahkamah Ramalah hingga
tahun 1948.
Pada
tahun itu beliau keluar ke Syam akibat jatuhnya Palestina ke tangan
Yahudi. Pada tahun itu juga beliau kembali untuk menjabat qadhi Mahkamah
Syariah al-Quds. Setelah itu, beliau diangkat menjadi qadhi di Mahkamah
Banding Syariah (Mahkamah al-Isti’nâf asy-Syar’iyah) hingga
tahun 1950. Kemudian beliau mengundurkan diri dan beralih untuk
memberikan ceramah kepada para mahasiswa tingkat dua di Fakultas Ilmu
Islam (Al-Kuliyah al-’Ilmiyah al-Islâmiyah) di Amman hingga tahun 1952.
Syaikh
Taqiyuddin Nabhani pernah bersentuhan dengan Ikhwanul Muslimin
Yordania. Di dalam pertemuan-pertemuan ia sering memberikan ceramah dan
memuji-muji Ikhwan serta pendirinya Imam Hassan Al-Banna. Tetapi tidak
berapa lama ia mendirikan Hizib al-Tahrir dan dinyatakannya sebagai
partai independen baik dalam pendirian atau dalam
pandangan-pandangannya. Orang-orang moderat banyak yang mendukung dakwah
Hizb ini antara lain Sayyid Quthb ketika berkunjung ke Quds pada tahun
1953. Dalam kunjungan tersebut dilakukan berbagai dialog dan ajakan
menyatukan perjuangan. Tetapi Nabhani tetap pada sikapnya. Akhirnya
Sayyid Quthb mengatakan “Biarkan mereka. Mereka akan berhenti pada apa
yang pernah dirintis Ikhwan.”
Sejarah Pendirian Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir atau Hizb ut-Tahrir (Arab: حزب التحرير, Inggris: Party of Liberation,
Indonesia: Partai Pembebasan) awal bernama Partai Pembebasan Islam
(hizb al-tahrir al-slami) adalah partai politik berideologi Islamisme
Sunni perintis paham Pan Islamisme (lihat Pan Arabisme), didirikan pada
tahun 1952 di Jerusalem berdasarkan doktrin Sistim islam. Tagi al-Din
al-Nabhani (1905-1978) atau di Indonesia dikenal dengan Syaikh
Taqiyyuddin An Nabhani seorang sufi, hakim pengadilan (Qadi) dan mantan
aktivis organisasi Ikhwanul Muslimin yang kemudian menentang doktrin
politik demokrasi Ikhwanul Muslimin terhadap konsep negara Mandat
Britania atas Palestina.
Hizbut
Tahrir berprinsip dasar pada kebebasan yaitu terbebas dari
doktrin-doktrin Islamisme yang lama serta menolak pemimpin yang dipilih
berdasarkan sistim demokrasi termasuk pemilihan umum dengan melakukan
propaganda bertujuan untuk menggabungkan semua negara Muslim untuk
melebur ke dalam sebuah negara yaitu berdasarkan doktrin sistem Islam
yang disebutnya sebagai Negara Islam atau unitariat kalifah.
Syaikh
Taqiyuddin mulai mengkaji secara mendalam dan menaruh perhatian besar
pada partai-partai, gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi yang
tumbuh sejak abad keempat hijriah. Beliau mengkaji secara mendalam
cara-cara, pemikiran-pemikiran dan sebab-sebab penyebarannya ataupun
kegagalannya. Beliau mengkaji partai-partai itu karena kesadaran beliau
akan wajib adanya kelompok islami yang beraktivitas mewujudkan kembali
Khilafah.
Setelah
penghancuran Khilafah melalui tangan seorang penjahat Mustafa Kamal
(Attaturk) kaum Muslim belum mampu mewujudkan kembali Khilafah meski ada
banyak organisasi islami yang berjuang pada waktu itu. Ketika muncul
negara Israel pada Mei 1948 di tanah Palestina, dan tampak kelemahan
Arab di hadapan kelompok-kelompok kecil orang Yahudi anak asuh mandatori
Inggris di Yordania, Mesir dan Irak. Semua itu mempengaruhi
penginderaan Syaikh Taqiyuddin. Lalu Syaikh mulai mengkaji sebab-sebab
hakiki yang dapat membangkitkan kaum Muslim. Beliau menuliskan hal itu
di dua risalah yaitu Risâlah al-’Arab (Misi Arab) dan Inqâdz Filishthîn (Membebaskan Palestina); keduanya beliau keluarkan pada tahun 1950 M.
Pada
saat beliau beralih beraktivitas di bidang peradilan, beliau mulai
menjalin kontak dengan para ulama yang beliau kenal dan beliau jumpai
saat bersama-sama di Mesir. Beliau mengajukan kepada mereka ide
pendirian partai politik yang berlandaskan Islam untuk membangkitkan
kaum Muslim dan mengembalikan kemuliaan dan keagungan mereka. Dalam
upaya mengajukan ide tersebut, beliau berpindah-pindah di antara
kota-kota di Palestina. Beliau mengajukan satu perkara yang telah
mencapai kematangan dalam pemikiran beliau kepada pribadi-pribadi yang
menonjol di antara para ulama dan pioner pemikiran. Untuk itu, beliau
menyelenggarakan berbagai forum. Beliau mengumpulkan para ulama dari
berbagai kota di seluruh penjuru Palestina.
Pada
forum-forum itu beliau berdiskusi dengan para ulama tentang metode
kebangkitan yang sahih. Beliau banyak berdiskusi dengan para aktivis
berbagai kelompok dan partai-partai politik, partai-partai nasionalis
dan patriotis. Beliau menjelaskan kepada mereka kesalahan jalan mereka
dan kemandulan aktivitas mereka. Beliau juga memaparkan banyak masalah
politik dalam ceramah-ceramah beliau dalam berbagai acara keagamaan di
Masjid al-Aqsha, Masjid Ibrahim al-Khalil dan masjid-masjid lainnya.
Dalam
ceramah-ceramah itu, beliau menyerang sistem-sistem di Arab dengan
mengatakan bahwa sistem-sistem itu adalah buatan para penjajah Barat dan
sarana mereka untuk melanggengkan cengkeraman mereka terhadap
negeri-negeri kaum Muslim. Di samping itu, beliau juga membongkar
rencana-rencana politik negara-negara Barat. Beliau mengekspos niat
busuk Barat untuk menentang Islam dan kaum Muslim. Beliau memahamkan
kaum Muslim akan kewajiban mereka dan menyeru mereka untuk berpartai
berlandaskan Islam.
Syaikh
Taqiyuddin pernah maju dan mencalonkan diri untuk menjadi anggota
parlemen. Karena sikap beliau yang lurus, kegiatan politis dan aktivitas
beliau yang penuh kesungguhan untuk mendirikan partai politik yang
berideologi Islam, karena sikap beliau yang berpegang secara kuat pada
Islam, serta karena intervensi negara terhadap hasil Pemilu, maka hasil
Pemilu tidak berpihak pada kemenangan beliau.Kegiatan politik Syaikh
Taqiyuddin tidak berhenti.
Tekad
beliau juga tidak padam. Beliau terus menjalin kontak dan berdiskusi
sampai beliau mampu meyakinkan sejumlah orang —para ulama, qadhi
terkemuka, serta mereka yang memiliki politik dan pemikiran yang
menonjol— tentang pendirian partai politik berasaskan Islam. Lalu beliau
mulai mengajukan kepada mereka kerangka kepartaian dan
pemikiran-pemikiran yang mungkin dijadikan bekal tsaqâfiyah bagi partai
itu. Pemikiran-pemikiran beliau itu mendapatkan ridha dan penerimaan
dari para ulama tersebut. Puncak aktivitas politik beliau adalah dengan
mendirikan Hizbut Tahrir.
Syaikh
mulai beraktivitas untuk membentuk partai di kota al-Quds. Pada saat
itu beliau bekerja di Mahkamah al-Istinaf asy-Syar‘iyah (Mahkamah
Banding Syariah) di kota tersebut. Beliau menjalin kontak dengan
beberapa tokoh di sana, di antaranya Syaikh Ahmad ad-Daur dari
Qalqiliyah, Nimr al-Mishri dari al-Lad, Dawud Hamdan dari Ramalah,
Syaikh Abdul Qadim Zallum dari kota al-Khalil, Dr. 'Adil an-Nablusi,
Ghanim Abduh, Munir Syaqir, Syaikh As’ad Bayoudh at-Tamimi, dan
lain-lain.
Pada
awalnya, pertemuan di antara para pendiri Hizbut Tahrir itu berlangsung
secara acak dan tidak teratur. Mayoritasnya dilakukan di al-Quds atau
di al-Khalil. Pertemuan itu dilakukan untuk saling bertukar pendapat dan
untuk menarik orang-orang baru. Diskusi yang berlangsung terfokus pada
masalah-masalah keislaman yang mempengaruhi kebangkitan umat. Kondisi
ini terus berlangsung seperti itu hingga akhir tahun 1952 M. Pada
tanggal 17 November 1952 M, lima orang anggota pendiri Hizb menyampaikan
permintaan resmi kepada Kementerian Dalam Negeri Yordania dengan maksud
untuk mendapatkan izin pendirian partai politik, yaitu :
1. Taqiyuddin an-Nabhani, Pemimpin Partai.
2. Dawud Hamdan, Wakil Ketua merangkap Sekretaris Partai.
3. Ghanim Abduh, Bendahara Partai.
4. Dr. Adil an-Nablusi, anggota.
5. Munir Syaqir, anggota.
Kemudian
Hizb melengkapi syarat-syarat perundang-undangan yang dituntut oleh
Undang-Undang Jam’iyah Utsmani. Hizb berpusat di al-Quds. Hizb mulai
menyampaikan informasi dan pemberitahuan sesuai dengan undang-undang.
Hizb menyampaikan penjelasan pendirian partainya kepada pemerintah dan
melampirkan Anggaran Dasar Partai. Hizb juga menyiarkan status
pendiriannya di Koran Ash-Sharîh no. 176, tanggal 14 Maret 1952 M.
Dengan semua itu, Hizbut Tahrir telah menjadi partai resmi menurut undang-undang terhitung sejak hari Sabtu 28 Jumada ats-Tsaniyah 1372 H, bertepatan tanggal 14 Maret 1953 M. Sejak saat itu Hizb memiliki wewenang untuk langsung melaksanakan kegiatan kepartaiannya dan berhak melaksanakan semua aktivitas kepartaian yang dinyatakan di dalam angaran dasarnya. Hal itu sesuai dengan Undang-undang Jam‘iyah Utsmani yang masih berlaku saat itu.
Dengan semua itu, Hizbut Tahrir telah menjadi partai resmi menurut undang-undang terhitung sejak hari Sabtu 28 Jumada ats-Tsaniyah 1372 H, bertepatan tanggal 14 Maret 1953 M. Sejak saat itu Hizb memiliki wewenang untuk langsung melaksanakan kegiatan kepartaiannya dan berhak melaksanakan semua aktivitas kepartaian yang dinyatakan di dalam angaran dasarnya. Hal itu sesuai dengan Undang-undang Jam‘iyah Utsmani yang masih berlaku saat itu.
Tahap-Tahap Operasional Dakwah Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir memiliki beberapa tahapan dalam pengorganisasian gerak dakwahnya, diantaranya adalah :
1.
Tahap Tatsqif, untuk melahirkan orang-orang yang meyakini fikrah Hizbut
Tahrir dan metode Hizbut Tahrir dalam pembentukan kerangka gerakan.
2.
Tahap Tafa’ul dengan umat, agar ia mampu untuk memikul dakwah sehingga
ummat akan menjadikannya sebagai masalah utama dalam kehidupannya serta
berusaha menerapkannya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
3.
Tahap pengambil-alihan kekuasaan yang selanjutnya menerapkan Islam
secara utuh dan menyeluruh serta menyampaikan dan mengemban risalah
Islam ke seluruh dunia.
Tahap pertama,
Pada saat itu Hizbut Tahrir telah melakukan kontak dengan anggota
masyarakat menyampaikan konsep dan metode dakwahnya lewat perorangan.
Bagi orang yang menerima fikrah dan thariqah Hizb pembinaannya diatur
secara intensif dalam halaqah-halaqah Hizb hingga menyatu dgn ide-ide
dan hukum-hukum Islam yang telah dijadikan sebagai pedoman dan kemudian
menjadikannya seorang muslim yang mempunyai kepribadian Islam
berinteraksi dengan Islam dan menghayatinya serta memiliki aqliyah dan
nafsiyah Islamiyah, yang untuk selanjutnya bergerak mengemban dakwah
kepada umat.
Pada
tahap ini perhatian Hizb dipusatkan kepada pembinaan kerangka gerakan
memperbanyak pendukung dan pengikut serta mengkader para pengikutnya
dalam halaqah-halaqah dengan tsaqafah Hizb yang terarah dan intensif
sehingga pada akhirnya telah berhasil membentuk kelompok partai
bersama-sama para pemuda yang telah menyatu dengan Islam yang menerima
pemikiran-pemikiran Hizb kemudian berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran tersebut serta mengajak orang lain menuju
pemikiran-pemikiran Hizb. Setelah Hizb berhasil membentuk suatu kelompok
partai dan masyarakat mulai merasakannya serta mengenal Hizb beserta
ide-ide dan apa yang ia anjurkan kepada masyarakat maka sampailah Hizb
pada tahap yang kedua.
Tahap kedua, Marhalatut-Tafa’ul
yaitu berinteraksi dengan masyarakat untuk menyampaikan Islam kepada
umat dan mendorongnya untuk memikul Islam membentuk kesadaran dan opini
masyarakat atas dasar ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah dipilih
dan ditetapkan oleh Hizb hingga dijadikannya sebagai pemikiran ummat
yang akan mendorongnya untuk berusaha mewujudkannya dalam kehidupan.
Kemudian umat berjuang bersama-sama Hizb berusaha mendirikan Daulah
Khilafah serta mengangkat seorang Khalifah untuk melangsungkan kehidupan
Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Pada tahapan
ini Hizb mulai beralih menyampaikan dakwah kepada masyarakat banyak
dengan cara penyampaian yang bersifat kolektif. Pada saat itu Hizb
melakukan kegiatan-kegiatan berikut ini :
a. Tsaqafah murakkazah,
melalui halaqah-halaqah yang diadakan secara individu dalam rangka
mengembangkan kerangka Hizb untuk memperbanyak pendukung serta
melahirkan kepribadian Islam di kalangan para pengikut dan anggota Hizb
hingga mereka mampu mengemban dakwah Islam mengarungi medan kehidupan
melalui pergolakan pemikiran dan perjuangan politik.
b. Tsaqafah jama’iyah,
yang disampaikan kepada umat Islam secara umum berlandaskan ide-ide dan
hukum-hukum Islam yang telah dijadikan landasan Hizb sebagai materi
pembinaan untuk umat. Ini dilakukan melalui pengajian-pengajian umum
atau ceramah-ceramah di Masjid-masjid atau di balai-balai pertemuan
gedung-gedung dan tempat-tempat umum juga melalui media massa buku-buku
dan selebaran-selebaran untuk melahirkan kesadaran umat secara umum
sekaligus berinteraksi dengan masyarakat.
c. Asy-Syira’ul fikri,
yang disampaikan dalam rangka menentang kepercayaan/ideologi aturan dan
pemikiran-pemikiran kufur. Menentang segala bentuk aqidah yang rusak
pemikiran yang keliru persepsi yang salah dan tersesat dengan cara
mengungkapkan kepalsuannya serta kekeliruannya dan pertentangannya
dengan Islam. Sekaligus membersihkan umat dari segala bentuk pengaruh
dan bekas-bekasnya.
d. Al-Kifahus siyasi,
yaitu berbentuk perjuangan menghadapi negara-negara kafir Imperialis
yang menguasai negeri-negeri Islam. Menghadapi segala bentuk penjajahan
baik itu yang berupa pemikiran politik ekonomi maupun militer dan
mengungkapkan taktik dan strategi serta membongkar persekongkolan
negara-negara kafir untuk membebaskan umat dari kekuatannya serta
melepaskan umat dari segala bentuk pengaruh kekuasaannya.
e.
Menentang para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam
lainnya dan mengungkapkan kejahatan mereka serta mengadakan nasehat dan
kritik. Sekaligus mencoba mengubah tingkah lakunya tiap kali mereka
melahap hak-hak umat atau pada saat mereka tidak melaksanakan
kewajibannya terhadap umat atau pada saat melalaikan salah satu urusan
umat atau tiap kali mereka menyalahi hukum-hukum Islam. Dan berusaha
untuk menghapuskan kekuasaannya kemudian menggantikannya dgn kekuasaan
yang berlandaskan pada hukum-hukum Islam.
Tahap ketiga, Thalabun Nushrah
tatkala masyarakat telah apatis terhadap Hizb akibat hilangnya
kepercayaan umat terhadap pemimpin-pemimpinnya dan tokoh-tokoh
masyarakat yang pernah menjadi tumpuan harapan dan juga akibat keadaan
yang teramat sulit yang sengaja dibuat oleh kaum Imperalis di Daerah
Timur Tengah agar taktik Imperialisme mereka tetap berlangsung. Juga
akibat dominasi kekuasaan dan sikap keras/kejam yang dilakukan oleh para
penguasa untuk menindas rakyatnya penganiayaan yang teramat keras yang
dilakukan oleh para penguasa terhadap Hizb anggota serta pengikutnya.
Pada
saat masyarakat menjadi apatis akibat semua keadaan ini maka Hizb mulai
melakukan ‘thalabun-nushrah’ dari orang-orang yg mampu untuk dua
tujuan, yaitu : a) Tujuan Himayah hingga mampu berjalan mengemban dakwah
dalam keadaan yg aman, b) Mencari jalan untuk sampai pada tingkat
pemerintahan untuk mendirikan Khilafah Islamiyah dan menerapkan Islam.
Pada saat Hizb melakukan kegiatan ‘thalabun-nushrah’
seluruh kegiatan lainnya tetap dijalankan seperti pembinaan intensif
dalam halaqah-halaqah pembinaan kolektif untuk seluruh umat,
mengkonsentrasikan kegiatan hanya pada umat untuk ikut bertanggungjawab
dalam memikul beban Islam, serta mewujudkan opini umum di kalangan umat.
Begitu pula kegiatan lain seperti menentang negara-negara kafir
Imperialis dan mengungkapkan taktik mereka serta membongkar
persekongkolannya. Juga menentang para penguasa mengutamakan kepentingan
umat dan memelihara urusannya.
Gagasan Khilafah Hizbut Tahrir
Hizbut
Tahrir beraktivitas di seluruh dunia Islam untuk memperkuat komunitas
Muslim yang hidup secara islami dalam pikiran dan perbuatannya, dengan
terikat pada hukum-hukum Islam dan menciptakan identitas Islam yang
kuat. Hizbut Tahrir juga beraktivitas bersama-sama komunitas Muslim di
Barat untuk mengingatkan mereka agar menyambut seruan perjuangan
mengembalikan Khilafah dan menyatukan kembali umat Islam secara global.
Hizbut Tahrir juga berupaya menjelaskan citra Islam yang positif kepada
masyarakat Barat dan terlibat dalam dialog dengan para pemikir, pembuat
kebijakan dan akademisi Barat.
Yang
menarik tentang khilafah ini, Taqiyudin an-Nabhani menyatakan:
“...mengadakan banyak seminar tentang Khilafah, bukanlah jalan yang
mengantarkan pada pembentukan Negara Islam. Upaya menyatukan
negara-negara yang memerintah negeri-negeri Islam bukanlah sarana yang
bisa membangun Negara Islam. Piagam atau deklarasi yang dikeluarkan
berbagai muktamar bangsa-bangsa Islam, bukanlah bentuk perwujudan yang
mampu menciptakan kehidupan yang Islami. Semua itu dan yang sejenisnya
bukanlah jalan (thariqah). Itu adalah hiburan sesaat yang sedikit
menyegarkan jiwa kaum Muslimin. Kemudian semangat muktamar itu lambat
laun menjadi padam. Setelah itu duduk-duduk santai tanpa melakukan
aktivitas yang nyata. Lebih dari itu semuanya adalah jalan yang
bertentangan dengan thariqah Islam. Metode satu-satunya untuk mendirikan
negara Islam hanya dengan mengemban dakwah Islam dan berbuat nyata
dalam mewujudkan kehidupan yang Islami. Hal ini menuntut menuntut satu
kesatuan yang utuh. Karena umat Islam adalah satu. Mereka adalah
kumpulan manusia yang dikumpulkan oleh aqidah yang satu. Dari situ
sistem negara Islam memancar.”
Dengan konsep khilafahnya, Taqiyuddin menentang habis nasionalisme:
“Ikatan
kebangsaan (nasionalisme) tumbuh di tengah-tengah masyarakat, tatkala
pola pikir manusia mulai merosot. Ikatan ini terjadi ketika manusia
mulai hidup bersama dalam satu wilayah dan tidak beranjak dari situ...”
“Ikatan nasionalisme (rabithah wathaniyah)
ikatan yang rusak karena 3 hal : pertama, ikatan yang rendah karena
tidak mampu mengikat satu manusia dengan yang lain menuju jalan
kebangkitan. Kedua, ikatan reaksioner, yang selalu didsarkan pada
perasaan yang muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri.
Juga ikatan ini sangat berpeluang berubah-ubah sehingga tidak bisa
dijadikan ikatan yang langgeng antara manusia satu dengan yang lain.
Ketiga, ikatan temporal, muncul saat membela diri karena datangnya
ancaman. Dalam keadaan stabil, ikatan ini tidak muncul. Karena itu, ia
tidak bisa dijadikan pengikat antara sesama manusia” .
sumber : http://thebrewokz.blogspot.com
sumber : http://thebrewokz.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar